Emha Ainun Nadjib
Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun atau Mbah Nun[4] (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 68 tahun) adalah seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia. Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, dan tayangan video. Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.[5]
Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas, seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain.[6] Selain penulis, ia juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, cendekiawan, ilmuwan, sastrawan, aktivis-pekerja sosial, pemikir, dan kyai. Banyak orang mengatakan Cak Nun adalah manusia multi-dimensi.[7]
Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora pathèken”.[8] Setelah Reformasi 1998, Cak Nun bersama KiaiKanjeng memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia. Aktivitasnya berjalan terus dengan menginisiasi Masyarakat Maiyah, yang berkembang di seluruh negeri hingga mancanegara.[9] Cak Nun bersama KiaiKanjeng dan Masyarakat Maiyah mengajak untuk membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan.[10]
Kehidupan pribadi
Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.[11] Lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Ayahnya adalah petani dan tokoh agama (kyai) yang sangat dihormati masyarakat Desa Menturo, Sumobito, Jombang.[12] Juga seorang pemimpin masyarakat yang menjadi tempat bertanya dan mengadu tentang masalah yang masyarakat hadapi.[13] Begitu juga ibunya menjadi panutan warga yang memberikan rasa aman dan banyak membantu masyarakat.[11][14] Dalam ingatan Cak Nun, ketika ia kecil sering diajak ibunya mengunjungi para tetangga, menanyakan keadaan mereka. Apakah mereka bisa makan dan menyekolahkan anak. Pengalaman ini membentuk kesadaran dan sikap sosialnya yang didasarkan nilai-nilai Islam. Bahwa menolong sesama manusia dari kemiskinan dan membuat mereka mampu berfungsi sebagai manusia seutuhnya, merupakan kunci dalam Islam.[13] Kakak tertuanya, yaitu Ahmad Fuad Effendy, adalah anggota Dewan Pembina King Abdullah bin Abdul Aziz International Center For Arabic Language (KAICAL) Saudi Arabia.[15]
Paman Cak Nun, adik ayahnya, yaitu almarhum K.H. Hasyim Latief,[16] seorang pendiri Pertanu (Persatuan Tani dan Nelayan NU), ketua PWNU Jawa Timur, wakil Ketua PBNU, wakil Rais Syuriah PBNU, dan Mustasyar PBNU[17] yang mendirikan Yayasan Pendidikan Maarif (YPM) di Sepanjang, Sidoarjo.[18] Dari garis ayah, Cak Nun bersaudara dengan aktivis masyarakat miskin kota Wardah Hafidz dan Ali Fikri yang masih sepupu ayah Cak Nun.[18] Dari garis ayahnya ini, kakek buyut Cak Nun, yaitu Imam Zahid,[19] adalah murid Syaikhona Kholil Bangkalan bersama dengan K.H. Hasyim Asyari, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Romly Tamim.[20]
Pendidikan formal Cak Nun dimulai dari Sekolah Dasar di desanya. Karena semenjak kecil ia sangat peka atas segala bentuk ketidakadilan, ia sempat dianggap bermasalah oleh para guru karena memprotes dan menendang guru yang dianggapnya tak berlaku adil.[21] Suatu ketika ada guru terlambat mengajar, dan Cak Nun memprotesnya. Karena sebelumnya Cak Nun pernah terlambat masuk sekolah dan dihukum berdiri di depan kelas sampai pelajaran usai. Hukuman itu ia jalani sebagai konsekuensi kesalahannya dan itu merupakan aturan sekolah. Maka tatkala ada guru terlambat, menurut Cak Nun aturan yang sama harus diberlakukan. Dan ujungnya, ia keluar dari SD yang dianggapnya menerapkan aturan yang tidak adil itu.[22]
Kemudian oleh ayahnya, ia dikirim ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Pada masa tahun ketiganya di Gontor, Cak Nun sempat menggugat kebijakan pihak keamanan Pondok yang dianggapnya tidak berlaku adil. Ia pun memimpin “demonstrasi” bersama santri-santri lain sebagai bentuk protes. Namun protes itu berujung pada dikeluarkannya Cak Nun dari Pondok.[23] Meskipun hanya 2,5 tahun di sana, Gontor memberikan kesan mendalam baginya. Budaya santri mengakar kuat dalam dirinya sehingga ia memiliki disiplin pesantren.[24] Kemudian ia pindah ke Yogyakarta melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah 4 dan selanjutnya tamat SMA Muhammadiyah 1[25] bersama dengan teman karibnya, Busyro Muqoddas. Usai SMA, Cak Nun diterima di Fakultas Ekonomi UGM. Di “kampus biru” ini, ia bertahan hanya satu semester, atau tepatnya empat bulan saja.[25] Sebenarnya ia juga diterima di Fakultas Filsafat UGM namun tidak mendaftar ulang.
Istrinya, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Bersama Novia, ia dikaruniai empat anak, yaitu Ainayya Al-Fatihah (meninggal di dalam kandungan),[26] Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, dan Anayallah Rampak Mayesha.[27] Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup band Letto.
Aktivitas
Malioboro
Pada akhir tahun 1969 ketika masih SMA, Cak Nun memulai proses kreatifnya dengan hidup “menggelandang” di Malioboro, Yogyakarta selama lima tahun hingga 1975.[28] Kala itu, Malioboro menjadi tempat bertemu para aktivis mahasiswa, sastrawan, dan seniman Yogyakarta.[29] Malioboro menjadi salah satu poros dalam jalur Bulaksumur-Malioboro-Gampingan yang menandakan dialektika intelektual-sastra-seni rupa.[30] Di Malioboro ini, Cak Nun bergabung dengan PSK (Persada Studi Klub), sebuah ruang studi sastra bagi penyair muda Yogyakarta yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi,[28] seorang sufi yang hidupnya misterius. Banyak yang mengatakan pertemuan dengan Umbu memberikan pengaruh dalam perjalanan hidup Cak Nun selanjutnya.[31][32]
PSK yang didirikan tahun 1969 dan aktif hingga 1977, telah melahirkan sejumlah sastrawan terkemuka Indonesia, di antaranya Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, dan Cak Nun sendiri.[33] Keberadaan PSK tidak dapat dipisahkan dari Mingguan Pelopor Yogya. Kehidupan di PSK, di bawah asuhan Umbu, memang menuntut setiap penyair mudanya untuk berpacu setiap saat dengan “kehidupan puisi”.[30] Dan ketika di PSK, Cak Nun termasuk yang produktif menghasilkan karya sehingga di usia yang masih belia, belum genap 17 tahun, ia sudah mendapatkan legitimasi sebagai penyair dan disematkan sebagai penyair garda depan yang dimiliki Yogyakarta.[34]
Semasa di Malioboro ini, Cak Nun yang masih SMA sering bolos sekolah karena asyik dengan dunia sastra. Ia pernah membolos hampir 40 hari dalam satu semester. Ini membuat ia mulai tidak disukai guru-gurunya, ditambah rambutnya gondrong yang dianggap melanggar peraturan sekolah. Tapi ia mengatakan bahwa dirinya lebih suka mencari hal-hal yang belum diketahuinya namun tidak didapatkannya di sekolah.[35]
Wartawan
Masih dalam masa berproses bersama PSK di bidang sastra, Cak Nun juga aktif dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan, tahun 1973 sampai 1976. Sebagai wartawan serta redaktur beberapa rubrik di Harian Masa Kini Yogyakarta, seperti: Seni-Budaya, Kriminalitas, dan Universitaria, pun redaktur tamu di Harian Bernas selama tiga bulan.[36] Pada usia 24-25, tahun 1977-1978, kualitas esai-esai Cak Nun sudah diakui publik dan diterima harian Kompas. Pada 1981 saat usia Cak Nun 28 tahun, majalah Tempo telah menerima tulisan kolom-kolomnya dan ia menjadi kolumnis termuda majalah itu.[37][38] Lima tahun (1970-1975) Cak Nun menggeluti dunia kewartawanan. Berbeda dengan wartawan modern dalam mendefinisikan peran dan tugasnya sebagai penyiar berita, Cak Nun memiliki prinsip kewartawanan yang niscaya berhubungan dengan transendensi. Cak Nun menjelaskannya sebagai berikut:[39]
Musik Puisi
Tahun 1977/1978, Cak Nun bergabung dengan Teater Dinasti yang didirikan oleh Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, dan Tertib Suratmo. Pada masa ini, keterlibatan Cak Nun bersama Teater Dinasti, dan keikutsertaan Teater Dinasti bersama Cak Nun tidak bisa dipisahkan.[40] Bersama Teater Dinasti, Cak Nun intensif mementaskan puisi dalam rentang perjalanan sejak 1978 sampai 1987. Ia menggunakan bahasa Jawa “jalanan” dan ungkapan-ungkapan populer yang bersifat oral dan menimbulkan plesetan yang mendekonstruksi logika, makna, serta humor dalam puisi-puisinya dan mengangkat masalah-masalah sosial.[41] Karya-karyanya bersama Teater Dinasti dianggap menjadi fenomena baru dalam pemanggungan puisi sehingga banyak dibicarakan oleh pengamat kesenian karena diiringi alunan musik dari seperangkat gamelan.[41]
Pada tanggal 8 Desember 1980, Cak Nun dan Teater Dinasti mementaskan puisi di Teater Arena Taman Ismail Marzuki (TIM) yang berjudul Tuhan. Pembacaan puisi yang diiringi musik gamelan Jawa pada masa itu merupakan bentuk musikalisasi puisi yang tidak lazim. Karena itu, Cak Nun menyebut pementasan seperti itu sebagai “musik puisi”, bukan musikalisasi puisi.[42] Model pertunjukan demikian diakui Cak Nun sebagai terobosan dan merupakan strategi agar mendekatkan puisi kepada masyarakat di kampung-kampung. Hal ini lazim karena masyarakat pedesaan masih lekat dengan seni tradisi yang memposisikan gamelan Jawa sebagai instrumen utama.[43] Gamelan yang digunakan berbeda dengan gamelan pada umumnya, yaitu menggunakan besi, bukan kuningan. Pembacaan puisi dengan menggunakan gamelan besi oleh Cak Nun ini adalah bentuk pembelaan dan perhatiannya pada golongan masyarakat kelas bawah. Konsep bunyi gamelan besi mewakili kelas bawah, dibanding gamelan kuningan dan perunggu yang mewakili golongan elite, bangsawan, ningrat, dan semacamnya.[44]
Puisi-puisi Cak Nun selain dibacakan, juga banyak yang dimusikpuisikan. Pada akhir 1970-an, ia bersama Deded Er Moerad di Yogyakarta aktif menyelenggarakan poetry singing. Pada masa-masa itu pula, proses kreatif Cak Nun dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis).[45] Keempat nama ini sering disebut Empat E: Emha, Ebiet, Eko, Eha.[46] Kelompok ini acapkali ngamen puisi di kampung-kampung dan kampus-kampus.[45] Ebiet, sebelum menjadi penyanyi terkenal banyak belajar dari Cak Nun dengan menyanyikan puisi karya Emily Dickinson dan Cak Nun.[47]
Teater
Di Teater Dinasti, Cak Nun berkolaborasi dengan Gajah Abiyoso, Fajar Suharno, Simon Hate, Joko Kamto, dan Agus Istiyanto, yang sangat produktif melahirkan ide-ide dan pemikirannya dalam puisi-puisi dan naskah-naskah drama, seperti Keajaiban Lik Par (1980), Mas Dukun (1982), Geger Wong Ngoyak Macan (1989), dan Patung Kekasih (1989).[42] Kemenyatuan Cak Nun dan Teater Dinasti, selain pembacaan puisi, melalui pertunjukan drama teater menyuguhkan keunikan tersendiri di awal tahun 1980-an yang membuatnya semakin dikenal masyarakat sehingga banyak permintaan pementasan.[48]
Cak Nun juga diikutsertakan dalam lokakarya teater tahun 1980 pada Phillippine Educational Theatre Association (PETA), sebuah OAO—konsep teater yang mengusung nilai-nilai organisatoris, artistikal, dan orientatif—di Manila, Filipina.[49] Cak Nun, antara lain bersama Fred Wibowo dan Ariel Heryanto adalah peserta dari Indonesia angkatan pertama.[49] Persinggungan Cak Nun dan kawan-kawan Teater Dinasti dengan metode teater pembebasan PETA di Filipina ini tampaknya memicu mereka memberikan berbagai kegiatan pendidikan politik kepada rakyat melalui teater sebagai wahana ekspresi spirit pembebasan. Teater Dinasti pada era itu merupakan pelopor yang konsen dalam menggarap konsep teater pendidikan.[50]
Iowa, Rotterdam, Berlin
PSK di masa aktifnya sering mengadakan kegiatan dialog sastra bersama Umar Kayam dan sastrawan lainnya yang dipandang mapan di wilayah sastra nasional. Cak Nun dan Linus Suryadi AG dikenal memiliki kedekatan dengan beliau. Tahun 1981,[51] Umar Kayam merekomendasikan Cak Nun untuk mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat.[52]
Sebagai sastrawan, Cak Nun juga diundang dalam beberapa acara internasional. Tahun 1984, Cak Nun diundang untuk mengikuti The International Poetry Reading Festival di Rotterdam Belanda. Seorang profesor di Universitas Leiden menjadi anggota committee festival yang menentukan siapa saja yang layak diundang ke festival bergengsi itu. Disarankan kepada sang profesor oleh Siswa Santoso—sahabat Cak Nun ketika aktif dalam diskusi di rumah almarhum Umar Kayam di Yogyakarta pada akhir era 70-an awal 80-an, seorang Emha Ainun Nadjib adalah sosok yang bisa diundang yang dianggap akan “menghidupkan” event itu.[53]
Berawal hanya diundang untuk mengisi festival, keberadaan Cak Nun di Belanda kemudian berlanjut. Profesor Ben White dari ISS (Institute of Social Studies) Den Haag menyukai pemikiran Cak Nun sehingga didukung untuk berkegiatan di ISS Den Haag selama setahun. Cak Nun bisa kuliah, seminar, konferensi, ke Berlin, ke mana-mana, asalkan untuk mendukung imajinasinya menulis. Tulisan-tulisannya pada periode itu banyak dimuat di buku Dari Pojok Sejarah.[53]
Tahun 1985, Cak Nun mengikuti Festival Horizonte III di Berlin, Jerman. Pada festival ini, ia membacakan puisi-puisinya yang dipadukan dengan ayat-ayat Al-Qur`an.[54] Seperti ketika di Rotterdam, Cak Nun juga kemudian menetap lama di Jerman. Tahun 1983, Cak Nun bersama Gus Dur dan rombongan berkunjung ke Utrecht, mereka menginap di kediaman Adnan Buyung Nasution yang sedang studi. Di sini Cak Nun bertemu dengan Pipit Rochiyat Kartawidjaja yang kemudian saling menemukan kecocokan pemikiran. Ketika berkelana di Jerman tahun 1985 itu, Cak Nun tinggal di rumah Pipit. Sebagian tulisan dalam buku Dari Pojok Sejarah juga ditulis di sana.[55]
Karya-karya
Cak Nun berkarya sejak akhir tahun 1969, pada usia 16 tahun. Mulai tahun 1975, karya-karyanya dibukukan. Buku-bukunya terentang dalam berbagai jenis: esai, puisi, naskah drama, cerpen, musik puisi, quote, transkrip Maiyahan, dan wawancara. Buku yang diterbitkan tahun 1980-an dan 1990-an, 20 sampai 30 tahun setelahnya masih diterbitkan ulang karena dipandang masih kontekstual dengan situasi dan kondisi kehidupan di Indonesia.[5] Karya-karya Cak Nun tersebut adalah:
Puisi
- “M” Frustasi dan Sajak-sajak Cinta (1975). Diterbitkan sederhana oleh Pabrik Tulisan.[151]
- Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978). Diterbitkan oleh Tifa Sastra UI.[152]
- Tak Mati-Mati (1978). Dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.[151]
- Nyanyian Gelandangan (1982). Dibacakan bersama Teater Dinasti di Taman Budaya Surakarta.[151]
- 99 Untuk Tuhanku (1983). Dibacakan di Bentara Budaya Yogyakarta.[98] Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Pustaka-Perpustakaan Salman ITB. Diterbitkan kembali oleh Bentang tahun 1993 dan 2015.
- Iman Perubahan (1986).
- Suluk Pesisiran (1988). Diterbitkan oleh Mizan.
- Syair Lautan Jilbab (1989). Diterbitkan oleh Sipress.
- Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba (1990). Diterbitkan oleh Mizan, pertama kali tahun 1990 dan diterbitkan kembali tahun 2016.
- Cahaya Maha Cahaya (1991). DIterbitkan pertama kali oleh Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pembinaan Sastra (LP3S) tahun 1988. Edisi tahun 1991 diterbitkan oleh Pustaka Firdaus.
- Sesobek Buku Harian Indonesia (1993). Diterbitkan oleh Bentang, pertama kali tahun 1993 dan diterbitkan kembali tahun 2017.
- Abacadabra Kita Ngumpet... (1994). Diterbitkan oleh Bentang bersama Komunitas Pak Kanjeng.
- Syair-syair Asmaul Husna (1994). Diterbitkan oleh Salahuddin Press dan Pustaka Pelajar.
- Doa Mohon Kutukan (1995). Diterbitkan oleh Risalah Gusti.
- Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu (2000). Diterbitkan oleh Zaituna.
- Trilogi Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta (2001). Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
- Karikatur Cinta (2005). Diterbitkan oleh Progress.
Esai/Buku
- Indonesia Bagian Dari Desa Saya (1980). Diterbitkan pertama kali oleh penerbit Jatayu. Diterbitkan kembali tahun 1983 dan 1992 oleh Sipress, dan tahun 2013 oleh Kompas.
- Sastra yang Membebaskan: Sikap Terhadap Struktur dan Anutan Seni Moderen Indonesia (1984). Diterbitkan oleh PLP2M (Pusat Latihan, Penelitian, dan Pengembangan Masyarakat).
- Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan (1985). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2020.
- Slilit Sang Kiai (1991). Diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti. Diterbitkan kembali tahun 2013 oleh Mizan.
- Secangkir Kopi Jon Pakir (1992). Diterbitkan oleh Mizan.
- Bola-Bola Kultural (1993). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2016 dan 2019.
- Markesot Bertutur (1993). DIterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2012, 2015, dan 2019.
- Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1994). Diterbitkan pertama kali oleh Risalah Gusti. Diterbitkan kembali tahun 2015 dan 2018 oleh Bentang Pustaka.
- Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah (1994). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Dicetak kembali tahun 2015.
- Kiai Sudrun Gugat (1994). Diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti.
- Markesot Bertutur Lagi (1994). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2013, 2015, dan 2019.
- Sedang Tuhan Pun Cemburu: Refleksi Sepanjang Jalan (1994). Diterbitkan pertama kali oleh Sipress. Diterbitkan kembali tahun 2015 dan 2018 oleh Bentang Pustaka.
- Gelandangan di Kampung Sendiri (1995). Diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Pelajar. Diterbitkan kembali tahun 2015 dan 2018 oleh Bentang Pustaka.
- Nasionalisme Muhammad: Islam Menyongsong Masa Depan (1995). Diterbitkan oleh Sipress.
- Opini Plesetan, OPLES (1995). Diterbitkan oleh Mizan.
- Terus Mencoba Budaya Tanding (1995). Diterbitkan oleh Pustaka Pelajar.
- Surat Kepada Kanjeng Nabi (1995). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2015.
- Titik Nadir Demokrasi: Kesunyian Manusia dalam Negara (1996). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2016 oleh Bentang Pustaka.
- Tuhan Pun Berpuasa (1997). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2012 dan 2016 oleh Kompas.
- Demokrasi T*l*l Versi Saridin (1997). Diterbitkan oleh Zaituna.
- Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana (1998). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2016 oleh Bentang Pustaka.
- Iblis Nusantara Dajjal Dunia: Asal Usul Krisis Kita Semua (1998). Diterbitkan oleh Zaituna.
- Keranjang Sampah (1998). Diterbitkan oleh Zaituna.
- Kyai Kocar Kacir (1998). Diterbitkan oleh Zaituna.
- Mati Ketawa Ala Refotnasi: Menyorong Rembulan (1998). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2016 oleh Bentang Pustaka.
- Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia (1999). Diterbitkan oleh Hamas dan Padhangmbulan.
- Jogja-Indonesia Pulang-Pergi (1999). Diterbitkan oleh Zaituna.
- Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1999). Diterbitkan oleh Zaituna.
- Hikmah Puasa 1 & 2 (2001). Diterbitkan oleh Zaituna.
- Segitiga Cinta (2001). Diterbitkan oleh Zaituna.
- Kafir Liberal (2005). Diterbitkan oleh Progress.
- Orang Maiyah (2007). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2015 oleh Bentang Pustaka.
- Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki (2007). Diterbitkan oleh Kompas. Dicetak kembali tahun 2016.
- Tidak. Jibril Tidak Pensiun (2007). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2017 oleh Bentang Pustaka.
- Istriku Seribu (2007). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2015 oleh Bentang Pustaka
- Kagum Pada Orang Indonesia (2008). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2015 oleh Bentang Pustaka.
- Jejak Tinju Pak Kiai (2008). Diterbitkan oleh Kompas.
- Demokrasi La Roiba Fih (2009). Diterbitkan oleh Kompas. Dicetak kembali tahun 2016.
- Anak Asuh Bernama Indonesia - Daur 1 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
- Iblis Tidak Butuh Pengikut - Daur 2 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
- Mencari Buah Simalakama - Daur 3 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
- Kapal Nuh Abad 21 - Daur 4 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
- Kiai Hologram (2018). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
- Pemimpin Yang "Tuhan" (2018). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
- Markesot Belajar Ngaji - Daur 5 (2019). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
- Siapa Sebenarnya Markesot - Daur 6 (2019). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
- Sinau Bareng Markesot - Daur 7 (2019). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
- Lockdown 309 Tahun (2020). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.[153]
Cerpen
- Yang Terhormat Nama Saya (1992). DIterbitkan oleh Sipress.
- BH (2006). Diterbitkan oleh Kompas.
Naskah Drama
- Sidang Para Setan (1977).
- Patung Kekasih (1983). Tentang pengkultusan. Ditulis bersama Fajar Suharno dan Simon Hate.
- Doktorandus Mul (1984).
- Mas Dukun (1986). Tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern.
- Keajaiban Lik Par (1987). Tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern.
- Geger Wong Ngoyak Macan (1989). Tentang pemerintahan "Raja" Soeharto. Ditulis bersama Fajar Suharno dan Gadjah Abiyoso.
- Keluarga Sakinah (1990).
- Lautan Jilbab (1990).
- Santri-Santri Khidlir (1991). Dipentaskan di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain. Dihadiri 35.000 penonton di saat dipentaskan di alun-alun Madiun),
- Perahu Retak (1992). Tentang Indonesia Orde Baru yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram.
- Sunan Sableng dan Baginda Farouq (1993).
- Pak Kanjeng (1994).
- Duta Dari Masa Depan (1996).
- Tikungan Iblis (2008).
- Nabi Darurat Rasul Ad Hoc (2012). Tentang betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya. Dipentaskan oleh Teater Perdikan dan Letto.
- Sengkuni 2019 (2019).
Skenario Film
- Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2011). Ditulis bersama Viva Westi.[154]
Wawancara, Quote, Transkrip Maiyahan
- Kerajaan Indonesia (2006). Diterbitkan oleh Zaituna.
- Indonesia Apa Adanya (2016). Diterbitkan oleh Mizan.
- Hidup Itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem (2016). Diterbitkan oleh Noura Publishing.
- Urusan Laut Jangan Dibawa Ke Darat (2018). Diterbitkan oleh Pustaka Narasi.
- Allah Tidak Cerewet Seperti Kita (2019). Diterbitkan oleh Noura Publishing.
- Islam Itu Rahmatan Lil Alamin Bukan Untuk Kamu Sendiri (2020). Diterbitkan oleh Noura Publishing.[155]
Musik Puisi
- Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu (1980). Dimusikpuisikan berrsama Teater Dinasti di Taman Ismail Marzuki (TIM).[151]
- Isro` Mi’roj Yang Asyik (1986). Dimusikpuisikan di UGM, Yogyakarta.[151]
- Satria Natpala (1995).
- Talbiyah Cinta (1996). Dipentaskan di RCTI.[84]
- Jangan Cintai Ibu Pertiwi (2001).
- Kesaksian Orang Biasa (2003).
- Republik Gundul Pacul (2004).
- Presiden Balkadaba (2009).
Album Musik dan Shalawat
- Perahu Retak (1995). Seluruh lirik ditulis oleh Cak Nun, dan lagu oleh Frangky Sahilatua.[156][157][158]
- Kado Muhammad (1996).
- Raja Diraja (1997).
- Wirid Padang Bulan (1998).
- Jaman Wis Akhir (1999).
- Menyorong Rembulan (1999).
- Allah Merasa Heran (2000).
- Perahu Nuh (2000).
- Dangdut Kesejukan (2001). Syair ditulis oleh Cak Nun.
- Maiyah Tanah Air (2001).
- Terus Berjalan (2008).
- Shohibu Baity (2010).
- Lizziyaroh Qoshidiina (2020). Single
- Sholawatun Nur (2020). Single.[159]
- Takbir Akbar (2020). Single
- Hubbu Ahmadin (2020). Single
- Pusaka 1 (2020)
- Pusaka 2 (2020)
Penghargaan
September 1991, Cak Nun menerima penghargaan Anugerah Adam Malik di Bidang Kesusastraan yang diberikan Yayasan Adam Malik. Penyerahan anugerah ini diselenggarakan di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta. Keputusan anugerah ini berdasarkan hasil seleksi lima orang juri, yaitu Rosihan Anwar, Adiyatman, Lasmi Jahardi, Wiratmo Soekito, dan Amy Prijono.[160][161]
Bulan Maret 2011, Cak Nun memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[162] Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa penerimaya memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.[162] Penerimaan penghargaan ini diwakili oleh putranya, Noe Letto.[163]
Pada pergelaran Festival Film Indonesia (FFI) 2012, Cak Nun dinominasikan dalam kategori penulis Cerita Asli Terbaik untuk cerita film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya. Film ini juga mendapatkan dua nominasi lain yaitu Tio Pakusadewo sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik, dan Christine Hakim sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.[164]
Dalam Kongres HIPIIS (Himpunan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) ke-10 yang diselenggarakan tahun 2017, Cak Nun memperoleh HIPIIS Social Sciences Award 2017 karena dipandang sebagai contoh ilmuwan sosial yang objektif dan mandiri, serta merupakan sosok yang kritis, independen, dan produktif. Cak Nun memperoleh penghargaan ini bersama ilmuwan Prof. Dr. R. Siti Zuhro M.A
Posting Komentar untuk "Emha Ainun Nadjib"